Sebuah refleksi pribadi tentang pengalaman mengambil sabatikal pertama saya — dari perencanaan hingga pelajaran berharga yang didapat di sepanjang perjalanan.
Awal
Apa itu Sabatikal?
Sabatikal atau cuti sabatikal sebenarnya mirip dengan cuti biasa pada umumnya yaitu beristirahat dari pekerjaan atau kegiatan rutin. Perbedaannya adalah cuti sabatikal memiliki periode yang lebih panjang (lihat definisi KBBI), dan memiliki tujuan atau alasan yang lebih mendalam.
Asal usul konsep ini berasal dari Alkitab (Imamat 25), di mana tanah pertanian perlu beristirahat selama satu tahun setelah digunakan selama enam tahun. Namun dalam konteks modern, sabatikal telah berkembang menjadi kesempatan untuk:
- Beristirahat dan memulihkan diri
- Mengembangkan diri dan belajar hal baru
- Melakukan eksplorasi pribadi atau profesional
- Mengejar minat di luar pekerjaan
Bukan Keputusan Setengah Hati
Sebelum memutuskan untuk mengambil sabatikal, saya memastikan bahwa ini bukan hanya sesuatu yang saya butuhkan, tapi juga sesuatu yang benar-benar saya inginkan.
Jika digambarkan seperti ada dua belah hati. Satu bagian merupakan “kebutuhan” dan satu bagian lagi merupakan “keinginan”. Saya harus memastikan dulu dua-duanya “menyala” dan utuh sebelum saya mengambil keputusan. Mengapa?
Ada banyak sekali pertimbangan: dampak terhadap karir, kesiapan finansial, tujuan personal dan profesional yang ingin dicapai, dukungan dari keluarga, izin dari pemberi kerja (jika relevan).
Dalam kasus saya, saya memutuskan untuk resign dari pekerjaan saya. Sehingga izin dari pemberi kerja tak menjadi masalah. Namun, ini membuat pertimbangan lainnya lebih krusial.
Proses pengambilan keputusan ini pun melibatkan banyak sekali diskusi dengan banyak orang: orang tua, saudara, teman terdekat, kolega, bahkan hingga perencana keuangan dan asuransi.
Semua ini untuk memastikan bahwa rencana saya matang dan saya bisa menjalani sabatikal dengan tenang, termasuk memastikan kestabilan keuangan selama periode tersebut.
Tujuan Tulisan Ini
Seperti banyak tulisan saya lainnya disini, tulisan ini juga bertujuan sebagai refleksi dari pengalaman saya mengambil sabatikal untuk pertama kalinya.
Saya sangat menyadari bahwa sabatikal adalah sebuah privilege yang tidak semua orang bisa dapatkan. Melalui tulisan ini, saya berharap dapat menjadi pengingat untuk saya pribadi dan mungkin juga bagi Anda, bahwa ada waktunya kita perlu melangkah mundur, beristirahat, dan merawat diri.
Pengalaman
Menetapkan Tujuan
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, sabatikal bukan keputusan setengah hati. Setelah berdiskusi dengan banyak orang dan mendapatkan pandangan yang lebih objektif, saya mulai menetapkan tujuan untuk sabatikal saya. Namun, proses ini tidak semudah yang dibayangkan.
Awalnya, saya sering terjebak untuk menetapkan tujuan-tujuan yang terlalu tinggi atau ambisius — sesuatu yang mungkin bisa saya lakukan, tapi tidak benar-benar ingin atau mampu melakukannya.
Contoh: saya sempat menetapkan tujuan untuk mulai nge-gym dan membayar personal trainer. Setelah diperhadapkan dengan realita finansial, saya terpaksa mencoret tujuan ini — uang yang sudah saya siapkan tidak akan cukup untuk membayar gym membership apalagi personal trainer.
Realistis saja. Dari kesalahan ini, saya mulai fokus pada tujuan-tujuan yang benar-benar saya mau dan bisa lakukan. Untuk contoh tadi, akhirnya saya memutuskan untuk menggunakan aplikasi-aplikasi gratis yang memberikan panduan berolahraga dan mengikut saran olahraga dari dokter saat medical check-up.
Selain lebih terjangkau, pendekatan ini juga memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam jadwal dan lokasi olahraga saya. Dan saya bersyukur melakukannya, karena saya juga mendapatkan langkah-langkah yang lebih jelas dari dokter dan nutritionist untuk memperbaiki kesehatan saya.
Setelah pembelajaran ini, saya menyempurnakan proses menetapkan tujuan dengan cara:
-
Mencatat semua ide tujuan yang muncul
-
Mengevaluasi ide-ide tersebut setiap 2 minggu sekali.
Untuk mempertanyakan validitas setiap ide tujuan.
- Apakah ini masih relevan?
- Apakah ini hanya emosi sesaat?
- Apakah ini benar-benar yang saya inginkan dan butuhkan?
- Apakah ini realistis dan dapat saya capai dengan sumber daya yang saya miliki?
-
Mengerucutkan ide-ide menjadi beberapa tujuan utama yang realistis dan bermakna
Proses ini membantu saya untuk fokus pada tujuan-tujuan yang benar-benar penting dan bermakna bagi saya. Dengan memiliki tujuan yang jelas dan realistis, saya bisa merinci aksi-aksi yang diperlukan untuk mencapainya.
Tujuan-tujuan ini menjadi kompas yang mengarahkan kegiatan saya sehari-hari, memastikan bahwa waktu sabatikal saya digunakan dengan maksimal dan bermakna.
Perencanaan Finansial
Sebetulnya sederhana: bebas hutang dan tabungan cukup untuk hidup sehari-hari sampai waktu yang ditentukan.
Mengapa menurut saya ini sederhana? Karena saya beruntung telah memiliki kebiasaan mencatat pengeluaran. Ini berarti saya memiliki gambaran yang jelas tentang pengeluaran bulanan dan ke mana uang saya mengalir. Pengetahuan ini sangat membantu dalam merencanakan sabatikal.
Menjadi lebih kompleks jika saya tidak pernah mencatat pengeluaran. Akan lebih sulit memahami pola pengeluaran bulanan dan biaya gaya hidup, sehingga sulit memperkirakan berapa banyak tabungan yang diperlukan.
Beberapa langkah yang akhirnya saya lakukan untuk mempersiapkan finansial:
- Memberikan jeda ke semua tujuan keuangan saya — saya memprioritaskan semuanya untuk kesiapan keuangan sabatikal.
- Berusaha untuk tidak menaikkan gaya hidup walaupun saya memiliki lebih banyak uang. Karena kalau gaya hidup sudah naik, akan lebih susah untuk menurunkannya.
- Konsisten memelihara gaya hidup yang sudah ada, karena sangat banyak godaan untuk naik ke gaya hidup yang lebih tinggi jika penghasilan sudah naik.
- Menabung kurang lebih sebesar 12 bulan pengeluaran saya untuk sabatikal, di luar dana darurat (6 bulan pengeluaran).
- Membeli asuransi kesehatan pribadi untuk berjaga-jaga, menambah kepercayaan diri dan ketenangan jiwa karena semuanya sudah tercover dengan baik, terutama mengingat ketidakpastian yang mungkin terjadi selama periode sabatikal.
Perencanaan finansial yang matang ini sangat krusial. Ini memberikan saya ketenangan pikiran selama sabatikal, memungkinkan saya untuk fokus pada tujuan-tujuan yang sudah ditetapkan tanpa khawatir tentang keuangan sehari-hari.
Merinci Aktivitas
Setelah menetapkan tujuan dan kesiapan finansial sudah aman, langkah selanjutnya adalah merinci aktivitas yang akan saya lakukan dan alur waktunya selama sabatikal. Proses ini penting untuk memastikan bahwa waktu sabatikal saya digunakan dengan efektif dan bermakna.
-
Aksi-aksi
Dalam merinci aksi-aksi, saya mulai dengan menguraikan langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai setiap tujuan. Saya memanfaatkan berbagai sumber belajar di internet. Termasuk juga AI dan LLM yang menjadi alat bantu yang cepat dan cukup efektif untuk hal ini (tentunya dengan supervisi dan penyesuaian prompting berkala).
Penting bagi saya untuk memastikan setiap aksi realistis dan dapat dilakukan dengan sumber daya yang tersedia. Saya juga berusaha menyeimbangkan aksi-aksi antara pengembangan diri, pencapaian tujuan, istirahat, dan hiburan, sehingga sabatikal saya tidak hanya menyegarkan tetapi juga tetap produktif.
-
Alur Waktu (Timeline)
Saya menyusun alur waktu (timeline) untuk keseluruhan periode sabatikal. Saya merancang setiap harinya dan jamnya, kegiatan apa yang harus saya lakukan. Yang menarik, secara tidak sadar, saya belajar untuk mengelola fleksibilitas yang saya punya.
Banyak orang berpikir sabatikal adalah ajang untuk off dari segala sesuatu yang sedang dilakukan. Itu juga yang awalnya saya pikirkan. Saya berpikir untuk tidak melakukan apapun juga. Pengennya leyeh-leyeh aja. Walaupun akhirnya itu juga yang beberapa kali saya lakukan, namun, saya tetap mengatur waktu agar aksi-aksi yang sudah dirinci tetap berjalan.
Sebagai contoh: saya mengalokasikan satu minggu untuk beristirahat dan melakukan aktivitas spontan seperti bermain game, hangout dengan keluarga atau teman, dan berlibur. Lalu minggu berikutnya, saya fokus pada komitmen dan aktivitas terstruktur yang telah direncanakan.
Cara ini sangat cocok dan berguna untuk saya. Saya jadi tidak pernah merasa bosan selama kurang lebih 10 bulan ini. Setiap hari selalu ada sesuatu yang baru. Fleksibilitas yang terstruktur membuat saya tetap memiliki hari-hari yang terprediksi, waktu istirahat dan tidur yang cukup, dan tetap ada progres/kemajuan di aksi-aksi yang ada walau hanya 1% setiap harinya (dari buku Atomic Habits).
Mempertahankan Skill
Sebagai seorang software engineer, ini adalah sesuatu yang krusial. Perlu saya tekankan bahwa hal ini termasuk dalam tujuan sabatikal saya juga. Saya menyorotnya dalam bagian yang terpisah karena ini penting untuk dijabarkan.
Teknologi berkembang dengan sangat cepat, dan saya harus tetap bisa mengikuti dan belajar untuk memastikan skill saya tetap tajam. Beberapa strategi yang saya terapkan untuk mempertahankan skill:
- Mencatat pengalaman: Saya berusaha menuangkan semua pengalaman yang saya miliki ke dalam satu dokumen pribadi. Ini membantu saya untuk mengorganisir pengetahuan dan memudahkan saya mencari informasi ketika dibutuhkan di kemudian hari.
- Mempelajari ulang fundamental: Saya fokus mempelajari ulang dasar-dasar computer science dan programming. Hal ini membantu memperkuat fondasi saya, sehingga saya bisa belajar bahasa pemrograman atau framework baru dengan lebih cepat.
- Membangun project: Cara paling efektif untuk memahami apa yang saya pelajari adalah dengan mempraktikkannya. Saya mencoba membuat aplikasi baru, seperti aplikasi offline-first "Kapan Ya?" yang telah saya rilis.
- Memelihara project yang ada: Saya tetap melakukan maintenance pada project saya, "freedomlife". Ini termasuk mengumpulkan feedback dari pengguna dan melakukan iterasi untuk perbaikan.
- Mengikuti perkembangan industri: Saya tetap up-to-date dengan tren terbaru dalam dunia software engineering melalui berbagai sumber seperti blog teknis, video youtube, dan podcast.
Meskipun strategi-strategi di atas efektif dalam mempertahankan skill, penting untuk diingat bahwa sabatikal juga tentang keseimbangan dan penyegaran diri. Ada kalanya saya merasakan burnout dan enggan menyentuh apapun yang berkaitan dengan pemrograman. Saat hal ini terjadi, saya mengambil langkah mundur dan beristirahat. Saya menyadari bahwa 1-2 minggu beristirahat bisa kembali menyegarkan mental dan jiwa.
Kunci utamanya adalah memperlakukan pemeliharaan skill ini sebagai salah satu tujuan sabatikal yang harus diselingi dengan istirahat dan hiburan, bukan sebagai beban atau tekanan. Dengan pendekatan ini, saya bisa memastikan keterampilan saya tetap terasah tanpa mengorbankan tujuan-tujuan sabatikal saya yang lainnya.
Memanfaatkan Kesempatan
Setelah memastikan strategi untuk mempertahankan skill, saya juga mulai merencanakan bagaimana memoles semua "senjata" yang saya punya untuk dapat masuk ke dunia kerja kembali. Ini sangat penting untuk memastikan bahwa saya siap mengambil kesempatan-kesempatan yang mungkin muncul menjelang akhir masa sabatikal saya.
Resume, portfolio, koneksi, online presence, saya berusaha untuk mempersiapkan semuanya supaya saat sudah mendekati akhir sabatikal, saya sudah siap dan langsung dapat mengambil kesempatan-kesempatan yang ada. Seperti pepatah: "dressed for the future", saya mempersiapkan diri untuk masa depan yang saya inginkan.
Dengan pendekatan proaktif ini, saya berharap dapat dengan mudah kembali ke dunia kerja atau bahkan menemukan peluang karir baru yang menarik setelah masa sabatikal berakhir. Persiapan ini juga membantu saya tetap termotivasi dan fokus selama sabatikal, mengingatkan saya bahwa periode ini bukan hanya tentang istirahat, tetapi juga tentang pertumbuhan dan persiapan yang fleksibel untuk fase berikutnya dalam karir saya.
Penutup
Sabatikal ini telah memberikan saya banyak pelajaran berharga. Saya belajar "you are not your work"; saya adalah diri saya sendiri yang unik dengan berbagai aspek kehidupan di luar pekerjaan. Memisahkan identitas diri dari pekerjaan sangatlah penting karena hal ini memungkinkan saya untuk mempertahankan kebahagiaan, terlepas dari fluktuasi karir.
Ketika saya tidak terlalu mengaitkan identitas dengan pekerjaan, saya menjadi lebih tahan terhadap stres kerja, lebih mudah beradaptasi dengan perubahan karir, dan dapat menikmati kehidupan secara lebih menyeluruh. Misalnya, saya bisa lebih menghargai waktu luang untuk mengembangkan hobi, membangun hubungan personal, atau berkontribusi pada komunitas tanpa merasa bersalah atau kurang produktif.
Saya juga menyadari pentingnya "stay small enough long enough" — menahan diri untuk tetap memiliki gaya hidup yang cukup (kecil), karena kebutuhan akan naik (menjadi besar) dengan sendirinya seiring waktu, terutama saat berkeluarga nanti.
Saya menemukan bahwa memiliki rencana dan struktur itu membantu, meskipun tidak selalu mudah untuk menjalankannya. Yang terpenting adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menjalankan apa yang sudah direncanakan. Saya juga belajar untuk "dress for the future" — mengambil langkah-langkah kecil untuk mempersiapkan apa yang akan datang. Saya mencoba menyisihkan sedikit lebih banyak dari semuanya — uang, energi, dan waktu — agar siap saat peluang muncul.
Saya juga belajar sesuatu yang penting: tidak masalah ketika saya tidak produktif. Mengambil waktu untuk beristirahat sama pentingnya dengan bekerja keras. Mental burnout itu seperti atlet yang cedera — ini adalah bagian normal dari perjalanan. Seperti bagaimana saya tidak mengharapkan atlet yang cedera untuk terus bermain, saya juga perlu mengambil jeda, mencari bantuan, berobat, dan memberi waktu untuk pulih dan bangkit kembali.
Analogi ini membuka mata saya tentang hubungan saya dengan pekerjaan. Saya menyadari bahwa saya seperti seorang "atlet" yang bekerja pada sebuah "tim". Layaknya atlet profesional, saya perlu menjaga kesehatan mental dan fisik saya, dan tahu kapan harus beristirahat. Cara pandang ini juga membantu saya memahami hal lain — meskipun saya menghargai hubungan kerja saya, kantor tidak sama dengan keluarga. Bahkan memiliki hubungan dekat dengan kolega pun, kantor tetaplah lingkungan profesional di mana kita bekerja bersama sebagai tim. Saya lebih menghargai tempat kerja yang fokus membangun hubungan profesional berdasarkan rasa hormat, daripada menyebut diri mereka keluarga.
Selama jeda ini, saya memiliki lebih banyak waktu untuk dihabiskan bersama keluarga. Momen-momen ini membantu saya melihat betapa istimewanya mereka — bahwa di luar pekerjaan atau karir apapun, merekalah yang selalu ada. Pengalaman ini mengajarkan saya banyak hal tentang menemukan keseimbangan dalam hidup, tumbuh sebagai pribadi, merawat diri, dan menghargai waktu bersama baik dengan keluarga maupun teman terdekat. Saya berharap bisa membawa pelajaran-pelajaran sederhana namun bermakna ini dalam perjalanan saya ke depan, baik dalam pekerjaan maupun kehidupan.